Kamis, 15 April 2010

agama 10

SEJARAH PERKEMBANGAN BUDDHISME DI INDONESIA



PENUTUP

Buddhisme atau Agama Buddha merupakan salah satu agama yang sejak lama telah dianut oleh sebagian besar masyarakat Nusantara. Jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan jaman keemasan bagi Buddhisme. Keberadaan Buddhisme di Nusantara (Indonesia) dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah berupa prasasti-prasasti dan bangunan-bangunan berupa candi serta literatur-literatur asing khususnya yang berasal dari China.

Tradisi atau aliran Agama Buddha yang dianut oleh masyarakat Nusantara pada awalnya adalah non-Mahayana, namun untuk perkembangan selanjutnya Mahayana dan Tantrayana menjadi lebih populer di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan sejarah yang memiliki nilah filsafat Mahayana dan Tantrayana.

Dari peninggalan sejarah juga dapat dilihat bahwa telah terjadi sinkretisasi antara agama Hindu-Shiva dengan Buddhisme Mahayana di Indonesia.

Setelah mengalami dua masa kejayaan, yaitu masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, akhirnya Buddhisme di Indonesia mengalami kemunduran setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.

Namun setelah melalui empat jaman, setelah 500 tahun kemudian semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478, Agama Buddha mulai bangkit kembali dari tidurnya.

Perjalanan kebangkitan kembali dan perkembangan Agama Buddha yang dimulai pada jaman penjajahan hingga sekarang melalui jalan yang berliku-liku. Berbagai permasalahan muncul silih berganti.

Pada jaman penjajahan, perkembangan Agama Buddha menghadapi kendala berupa minimnya tokoh-tokoh yang memahami Buddha Dharma dan menghadapi agresifitas para misionaris agama lain. Pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, perkembangan Agama Buddha diwarnai oleh perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Buddha sehingga menimbulkan gejolak di sana-sini hingga didirikannya beragam organisasi Buddhis baru. Selain itu, sikap pemerintah yang belum mengakui Agama Buddha sebagai agama resmi, telah mempersempit gerak perkembangan Agama Buddha. Namun pada masa ini lahirlah Sangha Indonesia sebagai pengayom umat Buddha.

Agama Buddha menjadi salah satu agama yang resmi mewarnai perkembangan Agama Buddha pada era Orde Baru. Selain itu, terbentuknya Wadah Tunggal WALUBI serta kemelut dalam organisasi juga terjadi pada masa ini. Alih-alih mempersatukan seluruh umat Buddha seluruh Indonesia, tidak begitu lama, kehadiran WALUBI menimbulkan kemelut dan perpecahan dikalangan umat Buddha.yang disebabkan adanya prasangka, kesalahpahaman, serta pemaksaan kepentingan pribadi dari beberapa oknum anggota pengurus WALUBI.

Pembubaran WALUBI-Lama dan mendirikan WALUBI-Baru dengan maksud mengubur permasalahan yang ada, nampaknya tidak memberikan dampak yang baik. Meskipun demikian, terdapat sisi terang dari kemelut yang terjadi. Setidaknya umat Buddha akhirnya memiliki Lembaga Sangha yaitu KASI yang dapat duduk sejajar dengan lembaga-lembaga ulama dalam agama lain.

Akhirnya, melalui sejarah, generasi muda Buddhis akan mengingat dan mencatat bahwa dalam perkembangan Agama Buddha di Indonesia, pernah terjadi konflik-konflik yang terjadi dalam tubuh organisasi Agama Buddha. Hal ini merupakan sebuah peristiwa kelam yang terjadi dalam perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Peristiwa kelam ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila setiap anggota organisasi tidak mengedepankan dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Generasi muda Buddhis juga diharapkan dapat mengedepankan kepentingan bersama, saling memahami serta selalu merujuk pada Dharma dan Vinaya yang telah dibabarkan oleh Buddha Gautama.

”Kelahiran Buddha merupakan sebab kebahagiaan. Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab kebahagiaan. Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan. Usaha perjuangan mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan.”
(Dhammapada 194)

agama 9

04-10-2007, 04:59 PM
SEJARAH AGAMA BUDDHA


1. Kehidupan Masyarakat India Pra-Buddha

Agama Buddha berasal dari India bagian utara diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha Gautama, Bhagava, Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau adalah seorang pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu.

Sebelum lahirnya agama Buddha, masyarakat India telah mengenal berbagai kepercayaan agama. Saat itu terdapat beberapa pandangan hidup di India. Pada periode awal, masyarakat India bercorakkan tradisi pertapaan dengan pertapa-pertapa berambut panjang yang telanjang. Periode berikutnya, masyarakat mengenal upacara-upacara keagamaan dan ritus kurban dari kaum Brahmana.

Selanjutnya, masyarakat India mengenal agama dari kaum Upanishad. Menurut kaum ini, manusia memiliki suatu diri atau jiwa yang kekal. Kebahagiaan kekal hanya dapat diraih jika manusia dapat bersatu dengan alam semesta. Untuk bersatu dengan alam semesta, mereka mengembangkan meditasi yoga.

Pandangan ini mendapat reaksi keras dari kaum materialis. Kaum materialis menganggap bahwa tidak ada jiwa yang kekal. Menurut kaum ini, jiwa tidak lain tidak bukan adalah badan jasmani itu sendiri. Setelah kematian, kehidupan manusia berakhir, tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Kebahagiaan kekal itu tidak ada. Kebahagiaan hanya dapat diraih selagi hidup. Mereka yang mengikuti kaum materialis menjalani hidup bersenang-senang untuk menikmati kebahagiaan duniawi.

Perkembangan selanjutnya, masyarakat India mengenal tradisi pertapaan keras dari kaum Jaina. Kaum ini percaya bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki jiwa yang suci dan bersih dalam dirinya. Jiwa yang murni ini menjadi kotor karena perasaan-perasaan indera. Menurut kaum ini, kebahagiaan kekal dapat dicapai bila dapat membunuh perasaan-perasaan indera melalui cara-cara penyiksaan diri.

2. Masa Kehidupan Sang Buddha

Pangeran Siddharta dilahirkan dalam sebuah keluarga kerajaan. Ayahnya adalah seorang raja yang memerintah di kota Kapilavasthu. Hidup dalam keluarga istana, sang pangeran bergelimangan dengan kesenangan-kesenangan duniawi.

Kehidupan dalam kebahagiaan duniawi sangat didambakan banyak orang. Kekayaan yang berlimpah, kekuasaan yang tinggi, istri yang cantik, dan segala kemewahan duniawi lainnya. Kehidupan yang serba berlebihan di mana segala keinginan dapat terpenuhi ternyata tidak membuat sang pangeran berbahagia. Setelah sekian lama menikmati kehidupan duniawi yang menyenangkan dalam istana, suatu perjalanan keluar istana yang untuk pertama kalinya dilakukan dalam masa hidupnya segera merubah seluruh jalan hidupnya.

Kejadian di luar istana yang belum pernah ditemuinya selama hidup di dalam istana: orang tua renta yang berjalan tergopoh-gopoh dengan bantuan sebuah tongkat, orang sakit parah yang sedang merintih kesakitan dalam pembaringan, orang mati yang diusung menuju tempat kremasi, dan seorang pertapa suci yang sedang bermeditasi dengan heningnya; keempat kejadian yang dijumpainya ini pada kesempatan berbeda, telah membuat dirinya merenung dan terus merenung akan hidup ini: Mengapa harus ada usia tua? Mengapa harus ada masa sakit? Mengapa harus ada kematian? Mengapa harus ada penderitaan? Apa arti hidup ini? Dapatkah manusia terbebas dari usia tua, sakit dan mati?

Demikianlah batinnya diliputi dengan segala pergolakan yang akhirnya puncak pergolakan pada usia 29 tahun di mana Beliau memutuskan untuk menjalani kehidupan suci, seperti halnya kejadian keempat yang telah dilihatnya: seorang pertapa suci yang sedang tenang bermeditasi. Beliau memutuskan untuk mengikuti jejaknya dalam menemukan jawaban atas semua hal yang menyebabkan penderitaan manusia. Beliau bertekad untuk menemukan obat penderitaan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan karena usia tua, sakit dan mati. Masa ini disebut sebagai Masa Pelepasan Agung.

Pangeran Siddharta telah membuktikan bahwa kebahagiaan yang diperoleh dari kehidupan duniawi bukanlah kebahagiaan yang abadi. Kebahagiaan duniawi bersifat sementara. Setelah kebahagiaan lenyap, muncullah penderitaan. Demikianlah dalam hidup ini, suka dan duka datang silih berganti.

Beliau yakin adanya suatu kebahagiaan yang bersifat abadi. Dalam usaha pencarian, Beliau mengembara dan berturut-turut berguru kepada beberapa orang guru meditasi. Pertapa Gautama, demikianlah kemudian Beliau dikenal, mempelajari berbagai ilmu meditasi. Dengan cepat, Beliau menyamai kepandaian gurunya. Demikianlah, Beliau berpindah dari satu guru ke guru lainnya dan dengan segera pula segala ilmu dari gurunya dapat dikuasainya. Namun, usaha Beliau menemukan obat penderitaan tetap belum berhasil.

Dalam meditasi, Beliau berhasil menemukan adanya suatu bentuk kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan dalam meditasi ini adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual berbentuk lebih halus. Tetapi, Beliau menyadari bahwa kebahagiaan ini belumlah sempurna, masih bersifat sementara.

Akhirnya, Beliau mencoba menemukan sendiri Jalan Pembebasan tersebut, yang membebaskan manusia dari penderitaan. Beliau mulai mempraktekkan pertapaan dengan menyiksa diri. Setelah bertahun-tahun bertapa menyiksa diri membuat tubuh Beliau kurus kering. Hampir saja Beliau mati karena tubuhnya yang tinggal kulit pembalut tulang. Namun, Jalan Pembebasan tidak juga diperolehnya. Jawaban atas semua penderitaan tetap tidak didapatkannya.

Hingga pada suatu saat, Beliau disadari oleh serombongan pemain kecapi yang sedang lewat sambil berbincang-bincang menasehati yang lain:
"Jika tali senar ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jika terus dikencangkan, senarnya akan putus dan lenyaplah suaranya. Jika tali senar ini dikendorkan, suaranya akan melemah. Jika terus dikendorkan, lenyaplah suaranya."

Kata-kata ini ternyata telah menyadari Pertapa Gautama bahwa di dalam tubuh yang lemah karena menyiksa diri, tidak akan ditemukan pikiran yang jernih. Bagaimana Pengetahuan tentang Pembebasan dapat diperoleh tanpa pikiran yang jernih?

Pertapa Gautama akhirnya memutuskan untuk bangkit dari meditasinya. Beliau ingin mengakhiri cara bertapa menyiksa diri dan bergegas untuk mandi membersihkan tubuhnya. Namun, begitu Beliau bangkit, tubuhnya yang sedemikian lemahnya tak kuat menopang dirinya, yang membuatnya segera terjatuh pingsan.

Saat itu, seorang pemuda gembala bernama Nanda sedang lewat dan segera menolongnya. Ia memberikannya semangkuk air tajin. Ketika Beliau sadar dari pingsannya, Beliau segera mencicipi air tajin tersebut, dan akhirnya secara perlahan kesehatannya pulih kembali.

Pertapa Gautama pun akhirnya meninggalkan kehidupan menyiksa diri. Beliau telah membuktikan bahwa kehidupan menyiksa diri tidak akan membawa seseorang kepada kebahagiaan abadi, Jalan Pembebasan, Pencerahan Sempurna.

Beliau kemudian memutuskan untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi sambil mengumandangkan kebulatan tekadnya dengan berprasetya: "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulangku jatuh berserakan, tetapi Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Dikisahkan bahwa di dalam meditasinya, pertapa Gautama dihantui perasaan-perasaan bimbang dan ragu. Pikiran-pikiran seperti keinginan nafsu, keinginan jahat, ketakutan, keragu-raguan dan kemalasan mencoba menggagalkan usahanya dalam meraih Pengetahuan mengenai Pembebasan. Hampir saja Beliau dikalahkan oleh Mara, penggoda yang dahsyat itu. Namun dengan keteguhan hati Beliau yang membaja, akhirnya membuat-Nya berhasil menaklukkan Sang Mara.

Pertapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna. Beliau telah menjadi Buddha. Peristiwa penting ini terjadi pada saat malam terang purnama di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun. Beliau telah menyadari tentang asal mula penderitaan dan jalan untuk melenyapkannya. Dhamma inilah yang akan diajarkan-Nya kepada seluruh umat manusia agar kita semua dapat mengetahui hakekat sesungguhnya dari kehidupan ini dan berusaha untuk melenyapkan penderitaan sehingga kebahagiaan tertinggi dapat kita raih.

Selama 45 tahun Sang Buddha mengajarkan dhamma kepada umat manusia. Melalui pengalamannya sendiri, dengan usaha dan perjuangan Beliau sendiri, dhamma telah ditemukannya, dan telah diajarkannya pada kita semua.



3. Perkembangan Agama Buddha

Sang Buddha pertama kali mengajarkan dhamma kepada lima orang pertapa di taman rusa Isipatana, Sarnath. Beliau membimbing mereka menuju Arahat. Arahat adalah gelar bagi mereka yang telah melatih diri dan berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi yang dapat dicapai manusia. Seorang Arahat telah terbebas dari kekotoran batin duniawi. Mereka telah bersih dari keserakahan, keinginan yang disebabkan keakuan, kebencian, dan ketidaktahuan akan Jalan Pembebasan.

Dengan sifat-sifat tanpa cela yang dimilikinya, seorang Arahat adalah pelestari dhamma terbaik untuk meneruskan dhamma Sang Buddha di kemudian hari.
Setelah Sang Buddha Parinibbana, para Arahat kemudian berkumpul untuk menghimpun ajaran-ajaran Beliau yang telah disampaikan kepada banyak orang yang berbeda, di waktu dan tempat yang berlainan. Akhirnya, terhimpunlah Kitab Suci Agama Buddha.

Kitab suci berbahasa Pali dinamakan Tipitaka sedangkan kitab suci berbahasa Sansekerta dinamakan Tripitaka. Tipitaka atau Tripitaka berarti tiga keranjang. Nama ini digunakan karena kitab-kitab suci yang tersusun berhasil terkumpul sebanyak tiga keranjang.

Secara kuantitas, kitab suci agama Buddha adalah kitab suci yang paling tebal di antara semua kitab suci yang ada di dunia. Secara keseluruhan, ajaran-ajaran Sang Buddha dan para siswa-Nya yang telah Arahat, jika telah dibukukan diperkirakan memiliki ketebalan berkisar antara puluhan hingga puluhan ribu kali lipat lebih tebal dari Kitab Injil yang telah dikenal umum.

Ajaran Sang Buddha yang sedemikian luasnya menyebabkan tumbuhnya banyak tradisi dan aliran dalam agama Buddha. Mereka mencoba menemukan suatu cara praktis yang mudah untuk mempraktekkan ajaran Sang Buddha yang sangat luas itu dengan penekanan pada sutra-sutra tertentu dalam bagian Kitab Suci Agama Buddha.

Agama Buddha dipraktekkan meluas di India setelah Sang Buddha Parinibbana. Tradisi Buddhis pun terbentuk di wilayah yang sekarang bernama Pakistan dan Afghanistan, dan mengakar di Asia Tengah pada awal Masehi. Invansi Islam di kemudian hari melemahkan agama ini pada sub-benua India dan Asia Tengah.

Dari India, agama Buddha menyebar ke SriLanka. Dari India dan SriLanka, agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara dan sekarang berakar kuat di Thailand dan Myanmar. Pemerintahan komunis di beberapa negara Asia telah menekan perkembangan agama Buddha. Namun, sejak abad modern, intelektual Barat mulai tertarik dengan agama Buddha. Banyak vihara Buddhis, pusat-pusat Dharma, dan berbagai tempat pelatihan meditasi telah dibangun di negara-negara Barat.

Dari Asia Tengah, agama Buddha pertama kali masuk ke China, kemudian agama Buddha dibawa dari India. Banyak peziarah China membawa kekayaan naskah agama Buddha dari India ke China. Dalam masyarakat China, agama Buddha mengalami akulturasi dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Dari China, agama Buddha menyebar ke Vietnam dan Korea. Dari Korea, agama Buddha mencapai Jepang. Dari Jepang, agama Buddha menyebar ke negara-negara Barat.
Agama Buddha pertama kali diperkenalkan ke Tibet dari Nepal (India Utara) dan China. Dari Tibet, agama Buddha menyebar ke Mongolia dan Manchuria. Sejak China Komunis mencaplok Tibet, ribuan rakyat Tibet terpaksa melarikan diri ke pengasingan di India dan Nepal, dan telah membangun kembali vihara-vihara di India. Banyak pemimpin spiritual di Tibet pergi ke negara-negara Barat dan Asia, yang menyebabkan pusat-pusat Dharma bermunculan.

4. Agama Buddha di Indonesia

Di masa pemerintahan Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit, agama Buddha berkembang dengan pesat di Indonesia. Bahkan, Sriwijaya menjadi pusat pendidikan Buddhis terkenal pada masa itu.

Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan masyarakat setempat di Indonesia tercermin lewat bangunan candi-candi bercorak Buddhis yang dibangun dengan megah pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Syailendra. Pembangunan candi-candi Buddhis seperti Borobudur, Mendut dan Pawon menunjukkan kebudayaan bangsa kita yang sangat tinggi pada saat itu.

Pada masa pemerintahan Majapahit, agama Buddha dan Hindu dapat berkembang bersama-sama. Toleransi beragama pada saat itu sangat tinggi. Hal ini terbukti seperti yang tertulis dalam Kitab Sutasoma, karya seorang pujangga besar Buddhis saat itu, Mpu Tantular. Dalam kitab Sutasoma, terdapat perkataan "Bhinneka Tunggal Ika" yang digunakan saat ini dalam lambang negara kita.

Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit dan masa penyebaran agama Islam di Indonesia, perkembangan agama Buddha di Indonesia mengalami kemunduran. Pada masa kolonial Belanda, agama Buddha berada antara ada dan tiada.

Kemudian pada abad ke-20, sejak diundangnya bhikkhu Narada Thera dari SriLanka ke Indonesia, agama Buddha secara perlahan mulai berkembang kembali. Bhikkhu Narada Thera banyak memberikan pengetahuan Dharma dan informasi mengenai agama Buddha ke seluruh pelosok Nusantara.

Sejak itulah agama Buddha berkembang kembali di Indonesia dan dewasa ini sedang berada dalam tahap pembinaan masyarakat Buddhis Indonesia yang berlandaskan Pancasila untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

5. Agama Buddha di Dunia

Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan setempat di mana agama Buddha tumbuh tidak mungkin dapat dihindari. Agama Buddha mengambil bentuk luar dari kebudayaan setempat yang ada dan menyesuaikannya dengan ajaran agama Buddha.

Agama Buddha berasal dari India. Kebudayaan India sangat mempengaruhi bentuk luar agama Buddha. Kemudian, agama Buddha berkembang di Tibet dan China. Agama Buddha pun mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat di Tibet dan China.

Terkadang perpaduan antara agama Buddha dengan kebudayaan setempat menyebabkan batas yang kurang jelas antara praktek agama Buddha dengan praktek bukan agama Buddha. Sebagai contoh, perpaduan antara agama Buddha dengan kebudayaan China.

Sebelum perkembangan agama Buddha di China, masyarakat China sangat dipengaruhi ajaran filsafat dari Khonghucu dan kepercayaan Taoisme, yang keduanya merupakan kebudayaan asli setempat. Khonghucu sangat menekankan tata cara persembahyangan dan mengutamakan ajaran bakti. Dalam perkembangannya, agama Buddha menyesuaikan dengan menitikberatkan Sutra Bakti, sebagai pelengkap nilai-nilai budaya China. Segala tata cara dan upacara formal juga sangat ditekankan pada vihara-vihara Buddhis.

Pada abad modern ini, agama Buddha mulai berkembang di negara-negara Barat. Banyak cendekiawan Barat yang tertarik dan berminat untuk mempelajari agama Buddha. Mereka, setelah belajar agama Buddha, menyatakan bahwa di dalam agama Buddha, mereka menemukan sesuatu yang logis dan ajaran bermanfaat sebagai pedoman bagi kehidupan mereka. Ternyata agama Buddha memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan cendekiawan Barat. Umat Buddha juga boleh berbangga hati dengan semakin diterimanya agama Buddha di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan sebagainya. Banyak pula ilmuwan Barat menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar agama Buddha tidak bertentangan bahkan sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah Sains modern. Dengan demikian, perkembangan dan kemajuan Buddhadharma di berbagai wilayah di belahan dunia di masa mendatang dapatlah diharapkan.

agama 8

(24 March, 2009) Kategori: Asal mula | by: admin

Sejarah Nyepi Umat Hindu

Bila Anda tinggal di Bali, pasti akan merasakan suasana Nyepi yang jarang ditemui di kota lain di Indonesia. Di Bali umat Hindu merayakan Nyepi secara serentak. Nyepi yang identik dengan suasana sepi dan gelap gulita ternyata mempunyai sejarah nya sendiri. Berikut Sejarah Nyepi:

Kita semua tahu bahwa agama Hindu berasal dari India dengan kitab sucinya Weda. Di awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan.

Pertikaian antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya) menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini.

Dan pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.

Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda.

Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.

Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampal ke Indonesia.

Kehadiran Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad.

Dinyatakan Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, jüga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan! pengiring atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.

Rangkaian peringatan Pergantian Tahun Saka
Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :

1. Upacara melasti, mekiyis dan melis

Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).

2. Menghaturkan bhakti/pemujaan
Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.

3. Tawur Agung/mecaru
Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).

Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya).

4. Nyepi (Sipeng)
Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).

5. Ngembak Geni. Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.

Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.

Artinya : Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.

Sesungguhnya seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan bhuana agung bhuana alit.

Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara din sejati (Sang Atma) seseorang umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam din manusia ada sang din /atrnn (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa).

Sima krama atau dharma Santi adalah dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada pengalaman selama ini. Maka dengan peringatan pergantian tahun baru saka (Nyepi) umat telah melakukan dialog spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama. Namun patut juga diakui bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun 2009 ini, ada saja godaannya. Baik karena sisa-sisa bhutakalanya, sisa mabuknya, dijadikan kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain. Dunia nyata ini memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk, menang-kalah, kaya-miskin, sengsara-bahagia dst. Manusia berada di antara itu dan manusia diuji untuk mengendalikan diri di antara dua hal yang saling berbeda bahkan saling berlawanan.

Sejarah Nyepi

Kalau dituang dalam sebuah pantun boleh jadi sbb.:
Dengan bunga membuat yadnya,
melasti bersama pergi ke pantai.
Jika agama hanya wacana, kondisi
sejahtera -- aman damai susah dicapai.

Maka agama harus dimengerti,
dipahami, dilaksanakan atau
diamalkan dengan baik dan benar.

Dharma Santi
Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa.

Dengan Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Di samping itu juga untuk berbincang-bincang perihal kehidupan bersama kita ke depan karena kondisi yang dihadapi akan semakin sulit dan semakin komplek, serba multi; multi etnis, multi dimensi, multi kepentingan, multi karakter dan multi kultural.

Oleh karena itu dharma Santi dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap habis hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan dharma Santi atau sima krama, atau secara spiritual sering juga dilakukan jika ada upacara piodalan di Pura dengan “meprani”. Mesima krama, meprani atau dharma Santi merupakan ajang berdialog antar sesama tentang berbagai aspek kehidupan.

Karena Weda menyatakan “Wasudewa kutumbakan” (seluruh dunia adalah bersaudana). Atau sarwa asa mama mitram bhawantu (Jadikanlah seluruh penjuru dunia sebagai sahabat kami).

Untuk skup Bali, hal ini analog dengan konsep menyama braya yang perlu dimantapkan melalui dharma Santi. Jadi pergantian Tahun Saka adalah peringatan dari kebangkitan dan pembaharuan. Nyepi adalah renungan kesadaran untuk pengendalian diri. Dharma santi adalah dialog sesama demi keseimbangan hidup lahir bathin.

Demikian yang dapat disampaikan, semoga ada manfaatnya. Mohon maaf atas kekuragannya. “Selamat Hari Raya Nyepi tahun Baru saka 1931, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung kerta Wara nugraha kepada kita sekalian agar kita Santi, dapat meningkatkan bhakti sadana menuju Jagadhita yaitu dunia sejahtera. Om Ano bhadrah kratawo yantu wiswatah (semoga semua pikiran yang baik datang dari segala arah penjuru).

agama 7

Sejarah dan Perkembangannya
1. Awal Perkembangan Agama Hindu

Agama Hindu berasal dari India. Untuk mengetahui sejarah perkembangannya haruslah juga dipelajari sejarah perkembangan India meliputi aspek perkembangan penduduk maupun aspek kebudayaannya dari jaman ke jaman. Berdasarkan penelitian usia kitab- kitab Weda, para ahli sampai pada suatu kesimpulan bahwa agama Hindu telah tumbuh dan berkembang pada sekitar 6.000 tahun sebelum tahun Masehi. Sebagai agama tertua, agama Hindu kemudian berkembang ke berbagai wilayah dunia, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia.

2. Penduduk India

Penduduk asli yang mendiami India sekarang bermukim di daerah dataran tinggi Dekkan. Kehidupannya masih sangat sederhana.
Bangsa Dravida berasal dari daerah Asia Tengah (Baltic) masuk ke India dan mendiami daerah sepanjang sungai Sindhu yang subur. Kebudayaan mereka lebih tinggi dari penduduk asli. Bangsa Arya juga berasal dari daerah sekitar Asia Tengah, menyebar memasuki daerah- daerah Iran (Persia), Mesopotamia, dan juga masuk ke daerah Eropa. Yang sampai masuk ke India adalah merupakan bagian dari yang pernah masuk ke Iran. Mereka masuk ke India dalam dua tahap di dua tempat yang berbeda. Pertama mereka masuk di daerah Punjab yaitu daerah lima aliran anak sungai yang disambut dengan peperangan oleh bangsa Dravida yang sudah lebih dulu bermukim di sana. Karena bangsa Arya lebih maju dan lebih kuat, Bangsa Dravida dapat dikalahkan. Tahap kedua Bangsa Arya masuk ke India melalui daerah dua aliran sungai yaitu lembah sungai Gangga dan lembah sungai Yamuna, daerah ini dikenal dengan nama daerah Doab. Kedatangan mereka tidak disambut peperangan, bahkan kemudian terjadi percampuran melalui perkawinan. Bangsa- bangsa inilah yang menjadi nenek moyang bangsa India sekarang.

3. Jaman Weda

Telah diketahui bahwa bangsa yang datang kemudian di India adalah bangsa Arya yang mendiami dua tempat yaitu di Punjab dan Doab. Di kedua daerah tersebut mereka berkembang dan mengembangkan peradabannya. Dikatakan bahwa orang- orang Aryalah yang menerima wahyu Weda. Wahyu- wahyu Weda ini tidak turun sekaligus, melainkan dalam jangka waktu yang agak lama, dan juga tidak diwahyukan di satu tempat saja. Penerima wahyu disebut Maha Resi, diterima melalui pendengaran, dan oleh sebab itu wahyu Weda disebut Sruti (sru= pendengaran). Kurun waktu turunnya wahyu- wahyu Weda itulah yang disebut jaman Weda dan ajaran Weda inilah yang kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia.

4. Penyebaran Agama Hindu

Dalam suatu penggalian di Mesir ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hittites. Dalam perjanjian ini "Maitra Waruna" yaitu gelar manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa menurut agama Hindu yang disebut- sebut dalam Weda dianggap sebagai saksi.
Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara. Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan "Aztec" yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut Inca. Kata "Inca" berasal dari kata "Ina" dalam bahasa Sanskerta yang berarti "matahari" dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.
Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park).
Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda "Tri Kuta" atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.

5. Agama Hindu di Indonesia

Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Kedua tokoh besar ini mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebarkan Dharma. Bukti- bukti peninggalan ini sangat banyak berupa sisa- sisa kerajaan Hindu seperti Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman di Jawa Barat.
Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman di Kalimantan Timur, Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah dengan rajanya Sanjaya, Kerajaan Singosari dengan rajanya Kertanegara dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, begitu juga kerajaan Watu Renggong di Bali, Kerajaan Udayana, dan masih banyak lagi peninggalan Hindu tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Raja- raja Hindu ini dengan para alim ulamanya sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan agama, seni dan budaya, serta kesusasteraan pada masa itu. Sebagai contoh candi- candi yang bertebaran di Jawa di antaranya Candi Prambanan, Borobudur, Penataran, dan lain- lain, pura- pura di Bali dan Lombok, Yupa- yupa di Kalimantan, maupun arca- arca dan prasasti yang ditemukan hampir di seluruh Nusantara ini adalah bukti- bukti nyata sampai saat ini. Kesusasteraan Ramayana, Mahabarata, Arjuna Wiwaha, Sutasoma (karangan Empu Tantular yang di dalamnya terdapat sloka "Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa") adalah merupakan warisan- warisan yang sangat luhur bagi umat selanjutnya. Agama adalah sangat menentukan corak kehidupan masyarakat waktu itu maupun sistem pemerintahan yang berlaku; hal ini dapat dilihat pada sekelumit perkembangan kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit menerapkan sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sewaktu meninggal, oleh pewarisnya dibuatkan pedharman atau dicandikan pada candi Sumber Jati di Blitar Selatan sebagai Bhatara Siwa dan yang kedua didharmakan atau dicandikan pada candi Antapura di daerah Mojokerto sebagai Amoga Sidhi (Budha). Raja Jayanegara sebagai Raja Majapahit kedua setelah meninggal didharmakan atau dicandikan di Sila Petak sebagai Bhatara Wisnu sedangkan di Candi Sukalila sebagai Buddha.
Maha Patih Gajah Mada adalah seorang Patih Majapahit sewaktu pemerintahan Tri Buana Tungga Dewi dan Hayam Wuruk. Ia adalah seorang patih yang sangat tekun dan bijaksana dalam menegakkan dharma, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam pemerintahan Sri Baginda. Semenjak itu raja Gayatri memerintahkan kepada putranya Hayam Wuruk supaya benar- benar melaksanakan upacara Sradha. Adapun upacara Sradha pada waktu itu yang paling terkenal adalah mendharmakan atau mencandikan para leluhur atau raja- raja yang telah meninggal dunia (amoring Acintya). Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut Nyadran.
Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca Sradhanya.
Kendatipun agama Hindu sudah masuk di Indonesia pada permulaan Tarikh Masehi dan berkembang dari pulau ke pulau namun pulau Bali baru mendapat perhatian mulai abad ke-8 oleh pendeta- pendeta Hindu di antaranya adalah Empu Markandeya yang berAsrama di wilayah Gunung Raung daerah Basuki Jawa Timur. Beliaulah yang memimpin ekspedisi pertama ke pulau Bali sebagai penyebar agama Hindu dengan membawa pengikut sebanyak ± 400 orang. Ekspedisi pertama ini mengalami kegagalan.
Setelah persiapan matang ekspedisi kedua dilaksanakan dengan pengikut ± 2.000 orang dan akhirnya ekspedisi ini sukses dengan gemilang. Adapun hutan yang pertama dibuka adalah Taro di wilayah Payangan Gianyar dan beliau mendirikan sebuah pura tempat pemujaan di desa Taro. Pura ini diberi nama Pura Murwa yang berarti permulaan. Dari daerah ini beliau mengembangkan wilayah menuju pangkal gunung Agung di wilayah Besakih sekarang, dan menemukan mata air yang diberi nama Sindhya. Begitulah permulaan pemujaan Pura Besakih yang mula- mula disebut Pura Basuki.
Dari sini beliau menyusuri wilayah makin ke timur sampai di Gunung Sraya wilayah Kabupaten Karangasem, selanjutnya beliau mendirikan tempat suci di sebuah Gunung Lempuyang dengan nama Pura Silawanayangsari, akhirnya beliau bermukim mengadakan Pasraman di wilayah Lempuyang dan oleh pengikutnya beliau diberi gelar Bhatara Geni Jaya Sakti. Ini adalah sebagai tonggak perkembangan agama Hindu di pulau Bali.
Berdasarkan prasasti di Bukit Kintamani tahun 802 Saka (880 Masehi) dan prasasti Blanjong di desa Sanur tahun 836 Saka (914 Masehi) daerah Bali diperintah oleh raja- raja Warmadewa sebagai raja pertama bernama Kesariwarmadewa. Letak kerajaannya di daerah Pejeng dan ibukotanya bernama Singamandawa. Raja- raja berikutnya kurang terkenal, baru setelah raja keenam yang bernama Dharma Udayana dengan permaisurinya Mahendradata dari Jawa Timur dan didampingi oleh Pendeta Kerajaan Empu Kuturan yang juga menjabat sebagai Mahapatih maka kerajaan ini sangat terkenal, baik dalam hubungan politik, pemerintahan, agama, kebudayaan, sastra, dan irigasi semua dibangun. Mulai saat inilah dibangun Pura Kahyangan Tiga (Desa, Dalem, Puseh), Sad Kahyangan yaitu Pura Lempuyang, Besakih, Bukit Pangelengan, Uluwatu, Batukaru, Gua Lawah, Sistem irigasi yang terkenal dengan Subak, sistem kemasyarakatan, Sanggar/ Merajan, Kamulan/Kawitan dikembangkan dengan sangat baik.
Sewaktu kerajaan Majapahit runtuh keadaan di Bali sangat tenang karena tidak ada pergolakan agama. Pada saat itulah datang seorang Empu dari Jawa yang bernama Empu Dwijendra dengan pengikutnya yang mengembangkan dan membawa pembaharuan agama Hindu di Bali. Dewasa ini, terutama sejak jaman Orde Baru, perkembangan Agama Hindu makin maju dan mulai mendapat perhatian serta pembinaan yang lebih teratur.

agama 6

Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
History of Indonesia.png
Sejarah Nusantara
Pra-Kolonial (sebelum 1509)
Pra-sejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Zaman kolonial (1509-1945)
Era Portugis (1509-1602)
Era VOC (1602-1800)
Era Belanda (1800-1942)
Era Jepang (1942-1945)
Sejarah Republik Indonesia
Proklamasi (17 Agustus 1945)
Masa Transisi (1945-1949)
Era Orde Lama (1950-1959)
Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Operasi Trikora (1960-1962)
Konfrontasi Indo-Malaya (1962-1965)
Gerakan 30 September 1965
Era Orde Baru (1966-1998)
Gerakan Mahasiswa 1998
Era Reformasi (1998- )
[Sunting]

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tangguh dan ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.

agama 5

Muslim Rusia Dipaksa Belajar Agama Kristen

Kamis, 11/12/2008 18:51 WIB | email | print | share

Dalam acara tahuan "Christmas Readings" di Moskow pada bulan Januari 2008, Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Rusia, Andrey Fursenko mengatakan, "menerapkan ajaran agama-agama langit di level pemerintahan baik di tingkat federal, regional maupun tingkat pemerintahan kota, merupakan tindakan yang terlarang." Menurut Fursenko, yang paling penting bagi siswa dan orang tuanya adalah memberikan kebebasan memilih pada mereka untuk menghindari kontroversi.

Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 14 Februari 2008, sekitar 227 pemuka agama Kristen di Rusia mengirimkan surat pada Vladimir Putin (mantan presiden Rusia) yang isinya mendukung inisiatif dari Gereja Kristen Ortodoks Rusia untuk memasukkan ajaran agama Kristen dalam mata pelajaran sekolah. Para pemuka agama Kristen menyebut mereka yang menolak inisiatif ini sebagai para penganut nihilisme dan tidak toleran terhadap Gereja Ortodoks Rusia, Gereja Ortodoks Kristen dan pada pengikutnya.

Tapi dua bulan kemudian, pada bulan April, lebih dari 1.700 cendekiawan Rusia yang pendukung sekularisme mengirimkan petisi pada Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang isinya meminta Presiden tidak mengabulkan inisiatif kalangan gereja untuk memasukkan ajaran agama Kristen sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum. Para cendikiawan sekuler itu beralasan, pemaksaan pelajaran agama akan menimbulkan ketegangan dan akhirnya perpecahan di Rusia.

Pada bulan yang sama, Dewan Mufti Rusia secara resmi menyampaikan keberatannya jika di sekolah-sekolah umum Rusia hanya diajarkan tentang budaya, sejarah dan tradisi dari satu agama saja, karena akan menimbulkan konflik agama dan etnis di Rusia.

Kalangan gereja ortodoks di Rusia sebenarnya ingin meniru ide sejumlah wilayah di kawasan Kaukasus yang penduduknya mayoritas Muslim, seperti Chechnya, Ingushetia, Dagestan yang setuju untuk memasukkan mata pejaran agama Islam di sekolah-sekolah. Dua wilayah Rusia yang mayoritas penduduknya Muslim yaitu, Tatarstan dan Bashkortostan juga ikut mengusulkan ide itu.

Tapi berbeda dengan usulan warga Muslim agar agama Islam menjadi mata pelajaran yang bisa dipilih siswa sekolah, kalangan Gereja Ortodoks menjadikan ajaran agama Kristen sebagai pelajaran yang wajib diikuti dan bahkan mencoba menerapkan tradisi Kristen sampai ke level pemerintahan.

Damir Mukhetdinov, Kepala Nizhniy Novgorod Islamic Institute mengatakan, cara kalangan Gereja Ortodoks memaksakan ajarannya ke setiap orang telah melanggar standar-standar pendidikan di Rusia dan bertentangan dengan prinsip sekularisme dalam konstitusi Rusia.

Namun apa respon dari pihak gereja atas kritikan itu? Kepala Deputi Bidang Hubungan Eksternal Gereja, Vsevolod Chaplin malah dengan sinis mengatakan, "Warga Muslim yang tidak suka dengan situasi di Rusia, silahkan mencari sendiri tempat yang lebih baik untuk hidup."

Wajib Bawa Alkitab dan Salib

Faktanya, pada tahun 2007, jumlah warga Muslim sejumlah wilayah di Rusia Tengah meningkat tajam (kebanyakan imigran dari Asia Tengah dan Kaukasus). Jumlah siswa-siswa Muslim di sekolah-sekolah juga bertambah banyak dan para orang tua mereka sudah sering memprotes kebijakan sekolah yang mewajibkan siswanya mengikuti pelajaran agama Kristen ortodoks.

Di wilayah Nizhniy Novgorod, sejumlah sekolah memasukkan mata pelajaran agama Kristen dan semua siswanya wajib mengikuti pelajaran tersebut dan wajib membawa Alkitab serta salib setiap jam mata pelajaran agama Kristen. Begitu pula buku-buku teks sekolah yang ditulis berdasarkan keyakinan dalam agama Kristen, tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan perwakilan agama lainnya.

Sebagai contoh, di Nizhniy Novgorod, buku-buku teks yang isinya tentang sejarah Islam, diterbitkan tanpa melibatkan para ulama dan cendikiawan Muslim. Akibatnya, dalam buku-buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah, bab tentang agama Islam dimasukkan dalam bab "Sekte" dan agama Islam disebut sebagai "agama tentang nasib." Saat ini, Direktorat Agama Islam di Nizhniy Novgorod sedang bersiap membawa kasus buku-buku teks itu ke pengadilan.

Protes-protes yang dilakukan sebagain warga Muslim Rusia sedikit demi sedikit mengubah sikap Gereja Ortodoks. Mereka mulai mau berkompromi dan mengakui hak warga Muslim, penganut agama Yahudi dan penganut agama Budha untuk mempelajari agamanya masing-masing selain agama Kristen Ortodoks.

Kalangan Kristen Ortodoks kemudian memutuskan mengganti mata pelajaran agama Kristen Ortdoks dengan mata pelajaran Budaya dan Kerohanian, yang akan diperkenalkan mulai tahun ajaran 2009. Kelas baru ini terkesan berisi ajaran liberal, tapi sebenarnya esensinya tidak jauh berbeda dengan mata pelajaran agama dan budaya Kekristenan. Otoritas pemerintahan di wilayah Nizhniy Novgorod, Tatarstan dan Bashkortostan sudah menyatakan keberatan dengan mata pelajaran baru ini. Gerakan "Russian Islamic Hertitage" mengirimkan surat pernyataan pada pemerintah Rusia bahwa inisiatif kalangan gereja itu melanggar prinsip undang-undang dan konstitusi negara Rusia.

Sayangnya, Muslim Rusia masih belum bersatu untuk melakukan perlawanan terhadap sepak terjang kelompok Gereja Ortodoks yang tetap ingin memaksakan ajaran agama Kristen di sekolah-sekolah dalam tahun ajaran 2009. Sampai saat ini, belum ada tempat yang menjadi pusat kordinasi warga Muslim Rusia dan seluruh organisasi muslim di negeri itu. Suara dan gerakan mereka masih terpecah-pecah sehingga tidak kedengaran gaungnya. (ln/iol)

agama 4

Iman Atau Tingkah Laku Agama?

Yakub B. Susabda
Penulis adalah lulusan BIOLA University dengan gelar Doctor of Education.
Saat ini menjadi Dekan Akademis STT Reformed Injili Indonesia

Kemajuan gereja seringkali membutakan orang terhadap realita yang sesungguhnya. Sejak abad-abad Pencerahan / Enlightenment (abad 17-18) manusia sudah menjadi begitu skeptik terhadap pernyataan gereja sebagai satu-satunya institusi yang bisa menjelaskan tentang kebenaran Allah. Wahyu Allah sebagai dasar otoritas Alkitab juga dipertanyakan. Bahkan eksistensi Allah sendiri diragu-ragukan.

Tidak semua orang berani mengekspresikan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam hati mereka. Meskipun mereka masih berbakti di gedung-gedung gereja, jiwa mereka gelisah oleh karena tingkah laku agama yang mereka lakukan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak heran jikalau banyak di antara mereka yang menyadari bahwa Allah sebenarnya hanyalah simbol dari kebutuhan spiritual manusia. Kehadiran dan campur tangan Allah hanyalah "teologi" (logi atau ilmu tentang Allah) dan bukanlah suatu realita. Dalam pengalaman praktis kehidupan sehari-hari manusia itu sendirilah yang menentukan segala-galanya. Kegagalan oleh karena kesalahannya sendiri, atau keberhasilan oleh karena jerih payahnya sendiri. F. Nietzsche (1844-1900) mengatakan, "kalaupun Allah ada, Ia tidak dapat mengubah apa-apa.". Seabad sebelumnya Thomas Paine menulis, "I do not believe in the creed professed by the Jewish Church, by the Roman Church, by the Greek Church, by the Turkish Church, by the Protestant Church, nor by any church that I know of my own mind is my own church." (Saya tidak percaya pada kredo yang dibuat gereja apapun juga. Pikiran saya adalah standar satu-satunya).

Bagaimana dengan kita? Apa yang sebenarnya sedang gereja lakukan saat ini? Apa artinya jikalau kita mengatakan bahwa yang sedang kita perjuangkan adalah untuk 'menghidupkan kembali iman Kristiani?' Apakah kita sedang membela Allah? Apakah kita sedang membela status Allah di mata manusia? Ataukah kita sedang membela 'pengetahuan kita tentang Dia?' (formulasi doktrin yang kita buat). Atau...kita sedang membela diri kita sendiri (harta rohani, organisasi gereja, tradisi symbols, dsb).
Sebagai umat Kristiani yang 'Injili,' kita berusaha keras untuk membuktikan kemurnian iman kita. Sadarkah kita akan apa yang sebenarnya sedang kita perbuat?

Pembela-pembela Kehampaan

Sejarah Gereja mencatat skandal yang menyedihkan di mana usaha pembelaan iman justru menjadi bumerang yang melukai diri sendiri. Tahun 1799 Friedrich Schleiermacher menulis sebuah buku yang berjudul "On Religion: Speeches Addressed to Its Cultural Despisers". Tujuannya jelas untuk membela iman Kristen, tetapi isinya justru merupakan benih-benih racun yang menghancurkan kekristenan itu sendiri. Bagi Schleiermacher, tidak ada perbedaan dasariah antara orang Kristen dan non-Kristen. Setiap individu mempunyai 'sesuatu' yang memungkinkan dia mengenal dan bersekutu dengan Allah. 'Sesuatu' itu ia sebut sebagai 'feeling of absolute dependency.' Yaitu kesadaran 'intuitive' dari setiap manusia akan 'ketergantungannya' pada 'something beyond himself', yang disebut Allah. Manusia yang sejati adalah manusia yang menghargai naturnya sebagai "homo religiosus" tersebut. Dengan ide dari Schleiermacher ini, Nietzche coba membuktikan bahwa 'Allah sudah mati.' Kalau Allah hanyalah refleksi dari jiwa manusia, Allah yang selama ini disembah sudah mati. Makin lama manusia semakin menyadari bahwa 'refleksi' semacam itu tidak diperlukan lagi. L. Feurbach menyimpulkan bahwa agama tak lain daripada psychological phenomenon: karena ide tentang Allah tak lain daripada proyeksi dari self-consciousness manusia saja. Ia mengatakan,
"The divine being is nothing else than the human being, or, rather the human nature purified, freed from the limits of the individual man, made objective" (Allah tak lain daripada manusia itu sendiri, atau refleksi jiwa manusia yang dibebaskan dari belenggu keterbatasannya naturnya).

Sejak tahun 1859 iman Kristen sudah menghadapi gempuran yang berat. Terbitnya "The Origin of Species" dari Charles Darwin telah mengubah konsep dan sikap manusia terhadap agama dan hal-hal yang metaphysical. Evolusi bukan hanya dimengerti dalam hubungan dengan kontinuitas antara manusia dengan makhluk-makhluk lain. Evolusi bahkan menjadi pusat dari proses perkembangan kebudayaan manusia. Dari manusia yang immature, yang hidupnya beroritentasi pada agama, kepada manusia yang dewasa dengan orientasi lain (science) dan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, agama tidak lagi merupakan kebutuhan manusia zaman sain dan teknologi ini. Mulai sejak itu umat Kristen kehilangan keberanian untuk membela agama mereka. Umat Kristen dipaksa untuk membela iman (bukan agama) dengan penjelasan-penjelasan yang ilmiah. Akibatnya unsur metaphysical disingkirkan dari iman Kristen dan lahirlah iman Kristen tanpa Allah yang supranatural.

Keadaan ini sangat tidak menyenangkan. Karl Barth melihat bahwa kematian agama Kristen sudah di ambang pintu. Sebagai pendeta Reformed ia sangat peka dengan apa yang sedang terjadi. Tahun 1918 ia menerbitkan "The Epistle to the Romans," suatu usaha untuk membela iman Kristen di tengah dunia yang sinis terhadap hal-hal yang metaphysical dan transendental. Ia menekankan bahwa agama tidak sama dengan iman. Agama (termasuk agama Kristen) adalah manifestasi dari natur manusia "homo religiousus." Dalam agama tak ada ruang untuk Allah yang hidup atau sesuatu yang supranatural dan transendental. Agama hanyalah usaha manusia untuk membenarkan dirinya sendiri. Lain halnya dengan iman Kristen yang sejati. Iman adalah pengalaman "encountering" dengan Allah yang tak mungkin dapat diterangkan dengan bahasa apapun juga. Sesuatu yang hanya dapat diimani dan diamini.

Suatu penjelasan yang seolah-olah benar. Tetapi tanpa sadar natur iman Kristen sudah bergeser. Allah yang sudah menyatakan diri di dalam Anak-Nya Yesus Kristus sekarang kembali menjadi Allah yang "tidak dikenal." Alkitab sebagai wahyu Allah kehilangan otoritasnya sebagai kebenaran Allah yang objective. Apa yang tertulis tidak begitu saja dapat dipercaya sebagai kebenaran firman Allah. Alkitab "hanya" menjadi firman Allah kalau, pada saat membaca, manusia mengalami "encountering" dengan Roh Allah. Umat Kristen tidak lagi menyebut Alkitab sebagai firman Allah. Alkitab hanyalah buku yang "berisi firman Allah." Lalu siapakah yang mempunyai otoritas menentukan bahwa pengalaman tertentu adalah pengalaman encountering dengan Allah?

Usaha dari Barth untuk membela iman Kristen pada akhirnya justru memasukkan iman Kristen dalam jerat "pengalaman existencial" tiap pribadi. Judgement dari tiap individulah yang pada akhirnya menjadi otoritas tertinggi. Pembelaan-pembelaan "kehampaan" ini juga dilakukan oleh Tillich, Brunner, Moltmann, Pannenberg, Niebuhr, dsb. Bagaimana dengan kaum Injili? Apakah yang sedang kita lakukan? Membela Allah? Membela tradisi? Membela doktrin, atau membela diri sendiri? Apa yang sedang kita lakukan? Barangkali pertanyaan serupa ini terlalu sulit dimengerti dan dirasakan sangat tidak relevan bagi umat Kristen di Indonesia. Kehidupan dan kegiatan Gereja mencerminkan suatu sikap "ignorant dan indifferent" (tidak acuh karena kurang memahami persoalannya) terhadap natur dari persoalan yang sedang kita bicarakan. Umat Kristen pada umumnya berasumsi bahwa mereka sudah mengenal Allah dan apa yang mereka lakukan (melalui kegiatan-kegiatan gereja) adalah pertanggungjawaban iman kepada Allah. Dengan kata lain mereka percaya bahwa hidup Kristen memang berkisar pada kegiatan-kegiatan gereja / rohani seperti yang sekarang ini dilakukan. Cuma...motivasi dan tujuan manusia di belakang kegiatan-kegiatan inilah yang perlu dimurnikan.

Jadi "nothing wrong / tidak ada yang salah" dengan apa yang sekarang ini menjadi identitas gereja / kekristenan. Sikap ini telah membuat gereja selama berabad-abad lumpuh dan kehilangan power untuk bersaksi di tengah dunia. Apa yang gereja lakukan hanyalah suatu kesaksian 'semu' dari orang buta yang mencoba menuntun orang buta. Suatu "tradisi" yang di'budayakan'. Kegiatan yang ditularkan dari satu kepada yang lainnya. Mengapa demikian? Sekali lagi kita kembali pada persoalan semula. Kita bersaksi padahal kita sendiri belum mengenal siapa yang kita saksikan. Allah adalah "the Greatest Unknown" dalam kehidupan kita. Oleh sebab itu hanya belas kasihan Tuhanlah yang selama ini membuat kesaksian seperti ini "ada hasilnya". Bagaimana kita dapat membuktikan bahwa apa yang kita "alami" adalah pengalaman dengan Allah? Untuk menjawab ini, ada beberapa hal yang perlu di-clear-kan.

I. Pengalaman Dengan Allah Yang Sejati Tidak Sama Dengan Pengalaman Dengan Penghayatan Makna "Tradisi" Agama

Manusia adalah makhluk rohani (mempunyai roh). Tingkah laku agamawi selalu menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, entah ia atheist ataupun ia penganut suatu agama. Setiap individu selalu terlibat dengan usaha untuk mencari dan menemukan bentuk dan pola-pola tingkah laku agamawi yang cocok / sesuai dengan kebutuhan pribadinya. Semakin cocok dengan kebutuhan peribadinya, semakin tinggi level kepuasan yang diperolehnya.
Agama Kristen tidak identik dengan "iman" Kristen. Yang satu bisa semata-mata manifestasi dari diri sendiri, sedangkan yang lain hanya terjadi jikalau ada pengenalan dan hubungan pribadi dengan Allah yang hidup. Agama Kristen (dengan ritus dan tradisi-tradisinya) bisa merupakan manifestasi dari perkembangan kebudayaan dan kebutuhan "agamawi" manusia. Oleh sebab itu kepuasan yang dihasilkan melalui keterlibatan dan penghayatan dengan "agama" Kristen, tidak selalu menjadi pertanda dari "iman Kristen" yang hidup. Dengan kata lain seorang individu Kristen bisa aktif terlibat dengan kegiatan-kegiatan gerejani / kristiani dan mendapat "kepuasan batiniah" bahkan...kegiatan dan pelayanan tersebut membuahkan buah-buah yang baik tanpa ia sendiri mempunyai pengenalan pribadi dengan Allah yang hidup.

Seorang hamba Tuhan pernah mengatakan dengan tepat, "it is possible for a Christian to lead a big and a growing church but he himself doesn't know the Lord. It is possible for a Christian to write a good Theological book that deepen thousands other believers, but he himself doesn't know the Lord. Even, it is possible for a Christian like me, who is writing and talking about this danger of 'apostacy' and I myself do not know the Lord." (Tidak mustahil ada orang-orang Kristen yang melayani dengan sukses besar, menjadi berkat bagi ribuan orang, bahkan dapat mengingatkan orang akan bahaya 'mempermainkan Allah,' tanpa ia sendiri mengenal Allah.

Jiwa manusia begitu korup, sampai seringkali tanpa sadar seorang Kristen bisa terlibat dengan penipuan terhadap Allah, sesama, dan diri sendiri. Agama Kristen dalam segala "keindahannya" bisa merupakan manifestasi permainan "religiositas" jiwa manusia semata-mata.

Permainan jiwa ini seringkali berbentuk "defence mechanism" (mekanisme pertahanan jiwa) yang disebut "Sublimasi". Banyak orang Kristen yang sadar sesadar-sadarnya bahwa pengenalan mereka pada Allah merupakan pengenalan "semu". Mereka tak punya pengalaman apa-apa dengan Allah. Jiwa mereka diam-diam gelisah. Mereka membutuhkan keyakinan bahwa "mereka betul-betul sudah mengenal Allah." Tetapi mereka tidak mampu membuktikan pada dirinya sendiri kebenaran kesaksian tersebut. Jiwa manusia melakukan "mekanisme pertahanan" yang disebut "Sublimasi". Maksudnya, kebutuhan agama yang tidak terpenuhi melalui sumber yang satu sekarang dapat terpenuhi melalui sumber / sarana yang lain. Manusia bisa mengajar kepada jiwanya sendiri bahkan membuat jiwanya sendiri memiliki keyakinan bahwa ia benar-benar sudah mengenal Allah. Caranya? Tak usah dipikir. Yang terpenting adalah melibatkan diri dengan kegiatan-kegiatan rohani (pelayanan; penginjilan; mengajar orang-orang lain tentang firman Allah). Dengan demikian ia sudah masuk dalam suatu proses yang akan dengan sendirinya, menghasilkan "perasaan yakin" bahwa ia betul-betul sudah mengenal Allah. Inilah yang terjadi dan yang sudah menjadi pengalaman banyak orang Kristen. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang sedang terjadi dalam hidupnya belum tentu merupakan suatu pergaulan dengan Allah yang hidup.

Thomas Erskine mengatakan bahwa "mungkin apa yang mereka lakukan semata-mata adalah tingkah laku agamawi." Oleh sebab itu ia mengingatkan, "those who make religion their god will not have God for their religion" (Siapa yang mengilahkan agama takkan menemukan Allah dalam agama yang dianutnya).

Kita ingin membuktikan keotentikan Allah yang kita sembah. Kita menyadari bahwa pengalaman, penghayatan bahkan kepuasan dengan "tradisi" agama Kristen hanya dapat menghasilkan pembuktian yang "semu". Kesalehan dan ketekunan dalam hidup beragama bisa diperoleh melalui tradisi agama apapun juga di dunia ini. Agama Kristen pada dirinya sendiri (terlepas dari iman Kristen yang sejati) tidak unik.

II. Pengalaman Dengan Allah Yang Sejati Tidak Sama Dengan Pengalaman Yang Mengesankan Dengan "hal-hal yang Supranatural"

Kesalahan kedua dari umat Kristen dalam usaha membuktikan keotentikan pengalaman mereka dengan Allah adalah keterlibatannya dengan pengalaman-pengalaman supranatural (miracles, keajaiban-keajaiban). Memang Alkitab mencatat tentang peristiwa-peristiwa keajaiban yang dilakukan baik oleh nabi-nabi, rasul-rasul bahkan Tuhan Yesus sendiri. Oleh sebab itu hal benar tidaknya "keajaiban dapat terjadi dalam hidup manusia" tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang perlu dipertanyakan adalah "apa maksud Allah dan sampai di mana kepentingan dari pengalaman tersebut" dalam konteks keselamatan? Untuk ini Alkitab memberikan beberapa tuntunan:

a. Keajaiban hanyalah sarana yang dipakai Allah untuk "menuntun" manusia kepada "iman".
Pengalaman dengan keajaiban-keajaiban ilahi tidak sama dengan "pengalaman iman". Keajaiban-keajaiban ilahi hanyalah "alat iluminasi / sarana untuk menerangi hati manusia," dan iluminasi tidak sama dengan regenerasi (kelahiran baru). Iluminasi bisa membawa orang ke dalam gereja, tetapi iluminasi tidak memberikan jaminan keselamatan. Tidak heran jikalau penulis surat Ibrani mengatakan, "Mereka yang pernah diterangi hatinya (illuminated), yang pernah mengecap karunia surgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus dan yang pernah mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang namun yang murtad lagi..." (Ibr. 6:4-6).
"Being illuminated / diterangi hatinya" tidak sama dengan "being regenerated / dilahirkan baru." Yang pertama masih bisa murtad (melakukan apostacy/penghujatan) sedangkan yang kedua hanya bisa jatuh dalam kesalahan yang tidak disengaja (adokismos / backslidding). Setiap orang Kristen harus memahami bahwa "keajaiban-keajaiban" (kalaupun benar-benar dari Allah) hanyalah sarana / alat yang dipakai Allah untuk memberi illuminasi. Keajaiban-keajaiban itu pada dirinya sendiri tidak memberikan pengenalan pribadi pada Allah.

b. Iman yang sejati tak pernah dapat dibangun di atas landasan "pengalaman dengan keajaiban-keajaiban ilahi"
Umat Israel selama 40 tahun (baca: empat puluh tahun) siang malam terus-menerus melihat dan mengalami keajaiban-keajaiban ilahi. Sepuluh tulah bagi bangsa Mesir, laut Teberau yang terbelah, manna yang turun dari langit setiap pagi, tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari, dsb. dan ternyata umat Israel tidak pernah menjadi umat yang beriman oleh karena pengalaman-pengalaman tersebut. Tuhan Yesus melakukan seribu satu macam miracle, dan murid-murid-Nya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dan toh tidak ada satupun dari mereka yang membela Dia pada saat Dia ditangkap, dianiaya dan disalibkan. Paulus sangat menyadari betapa "sekundernya" keajaiban-keajaiban" ilahi dalam konteks iman. Oleh sebab itu meskipun sebagai rasul ia juga mendapat anugerah-anugerah untuk mendemonstrasikan "keajaiban ilahi" (Lukas mencatatnya dalam Kisah Para Rasul) ia tidak pernah sekalipun juga bicara tentang peristiwa-peristiwa tersebut dalam surat-suratnya.

c. Iman yang sejati hanya dapat dibangun di atas landasan firman Tuhan (Alkitab)
Tuhan Yesus pernah menceritakan perumpamaan tentang Lazarus dan orang kaya (Lukas 16:19-31). Dalam bagian terakhir dari perumpamaan tersebut si orang kaya mengatakan, " Kalau ada orang yang bangkit dari kematian, pastilah saudara-saudaraku akan bertobat." Untuk pernyataan tersebut Abraham menjawab, "Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi (firman yang tertulis) mereka tidak juga akan mau diyakinkan sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati."
Iman hanya dapat dibangun di atas landasan firman Allah yang tertulis. Kalau manusia tidak dapat mempercayai firman yang tertulis mereka sudah pasti tidak akan percaya meskipun melihat orang mati bangkit dari kematian. Ini betul-betul merupakan salah satu keunikan iman Kristen. Banyak orang yang berpikir bahwa mereka akan percaya kalau mereka melihat "bukti-bukti dan keajaiban-keajaiban". Dan memang ada ribuan orang yang menjadi "Kristen" (datang ke gereja dan melibatkan diri dengan kegiatan-kegiatannya) setelah melihat dan mengalami sendiri keajaiban-keajaiban tersebut. Tetapi Alkitab mengingatkan dengan tegas sekali bahwa illuminasi tidak sama dengan regenerasi. Hal datang ke gereja dan terlibat dengan "agama Kristen" tidak sama dengan hal "percaya dan diselamatkan".
Oleh sebab itu kepada Tomas yang menuntut bukti, Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah mereka yang tidak melihat bukti-bukti dan keajaiban-keajaiban, namun percaya" (Yohanes 20:28). Bahkan secara demonstratif Alkitab juga menyaksikan bahwa "setiap pahlawan iman" (baca: Ibr. 11) "tidak memperoleh" apa yang dijanjikan meskipun iman mereka telah memberikan kesaksian yang kuat (ayat 39). Mereka yang sakit tidak disembuhkan, yang dipenjara tidak dibebaskan, yang dianiaya tidak ditolong. Mereka tidak mengalami "keajaiban-keajaiban ilahi" seperti apa yang mereka inginkan dan toh mereka tidak kehilangan iman mereka. Iman yang sejati hanya dapat dibangun di atas landasan firman Tuhan.

III. Pengalaman Dengan Allah Yang Sejati Adalah Pengalaman Dengan Kuasa Pembebasan dari Dosa
Tak seorangpun yang dapat membuktikan bahwa pengalaman mereka adalah pengalaman "yang otentik" dengan Allah yang sejati, kecuali mereka mengalami tanda-tanda dari "kuasa pembebasan dari dosa".
Banyak orang Kristen yang secara rasionil "sudah mengenal" kebenaran-kebenaran firman Tuhan. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah dapat mengembangkan konsep pemikiran teologi yang betul-betul dilandaskan atas kebenaran-kebenaran firman Allah (Alkitab). Tetapi tanpa mereka mengalami "tanda-tanda" kuasa pembebasan dari jerat dosa, mereka belum dapat membuktikan "keotentikan" pengenalan mereka dengan Allah. Keyakinan iman hanya menjadi salah satu tanda yang relatif. Masalah "kesenjangan" antara "keyakinan dan pengalaman" ini merupakan salah satu masalah yang terbesar dalam kehidupan iman.
Banyak orang Kristen yang berusaha menutup atau memperkecil gap ini dengan upaya mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Tetapi sekuat-kuatnya upaya manusia tetaplah suatu upaya yang terbatas. Kebaikan yang dihasilkan adalah kebaikan yang "inconsistent / tidak konsisten", yang tergantung keadaan, tergantung konteksnya, bahkan tergantung seleranya sendiri. Suatu kebaikan yang "unpredictable / yang tak dapat diduga dan yang tak terjamin." Kebaikan yang tidak berasal dari sumber yang memang pada dirinya sendiri "sudah baik atau berada dalam proses diperbaiki."
Dalam 1Kor. 13 Paulus mengingatkan tentang adanya orang-orang yang "seolah-olah" sudah begitu baik (ayat 3). Tetapi kebaikan-kebaikan manusiawi ini (yang berasal dari bakat maupun hasil suatu latihan) tidak bernilai apa-apa dihadapan Allah. Seperti gong yang berbunyi atau canang yang bergemerincing, yang cuma menarik perhatian sementara dari manusia. Kebaikan, yang Paulus sebut sebagai kebaikan yang tidak berasal dari Allah. Kebaikan yang tidak lahir dari kasih Agape. Kebaikan yang bukan buah Roh Kudus (Gal. 5:22). Kebaikan yang tidak dihasilkan oleh pengalaman pribadi dengan Allah.
Jadi, bagaimana seorang tahu bahwa ia betul-betul sudah mengenal Allah? Untuk pertanyaan ini Alkitab memberikan beberapa petunjuk antara lain:

a. Orang Kristen yang mengenal Allah adalah orang Kristen yang mengalami kebenaran firman yang membebaskan
Tuhan Yesus berkata, "Jikalau kamu tetap di dalam firman-Ku, kamu benar-benar murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh 8:31-32).
Dalam konteks ini Tuhan berbicara tentang dua hal. Yang pertama ialah tentang "hubungan antara Dia dan murid-murid-Nya." Dan yang kedua tentang "tanda dari hubungan tsb". Yang pertama ditandai dengan "pengenalan dan kepatuhan" pada firman-Nya, dan yang kedua ditandai dengan "kebebasan" dari jerat dosa (ayat 34). Keduanya tidak terpisahkan. Pengalaman dengan Allah yang sejati adalah pengalaman dengan kebenaran firman yang membebaskan. Tidak ada tanda atau bukti "keotentikan" pengenalan dengan Allah yang lebih baik daripada realita ini. Orang Kristen yang belum mengalami "tanda-tanda pembebasan"dari jerat dosa adalah orang Kristen yang belum mengenal Allah.

b. Orang Kristen yang mengenal Allah adalah orang Kristen yang mengenal dan bergaul dengan Allah Alkitab
Allah Alkitab adalah Alkitab yang menyingkapkan diri-Nya melalui Alkitab. Ia adalah Allah yang hidup, yang tidak dikenal dunia (1Kor. 2:9). Allah yang unik yang mengutus anak-Nya ke dalam dunia untuk mati demi pembebasan manusia dari jerat dosa. Banyak orang Kristen yang tidak menyadari bahwa Alkitab merupakan penyingkapan diri Allah sendiri. Mereka berpikir bahwa Alkitab hanyalah kitab yang menyingkapkan "kehendak-kehendak Allah" dalam kehidupan praktis saja. Tidak heran jikalau 90% dari eksistensi Allah tidak pernah benar-benar dikenal oleh manusia. Kalaupun umat Kristen tahu bahwa Allah adalah Allah Tritunggal, Allah yang menjadi manusia, Allah yang mengosongkan diri-Nya, mereka tidak memahami apa hubungan antara eksistensi Allah tersebut dengan realita kehidupan iman sehari-hari. Pergaulan dengan Allah bagi banyak orang Kristen hanyalah pergaulan dengan "kehendak-kehendak Allah dalam hal-hal praktis" saja. Akibatnya pergaulan dan perkenalan yang sesungguhnya tidak pernah terjadi.
Dengan kata lain, banyak orang Kristen yang "merasa" sudah mengenal Allah, padahal (barangkali) mereka belum betul-betul mengenal Dia. Di tengah arus globalisasi dengan semangat anti doktrin yang ada pada zaman ini pengenalan akan eksistensi Allah seperti yang disaksikan Alkitab semakin sulit. Iman Kristen dipaksa untuk menjadi "agama Kristen" di mana pengenalan akan keunikan Allah seperti yang disaksikan Alkitab tidak mendapat tempatnya lagi. Yang penting adalah "kesatuan dan persatuan" dan untuk itu umat Kristen harus menanggalkan "keunikan-keunikan iman" yang bisa menjadi tembok-tembok pemisah. Keunikan pergaulan dengan Allah Alkitab yang bisa menghasilkan eksklusifitas dan intoleransi tidak perlu dipertahankan lagi. Akibatnya umat Kristen semakin tidak mengenal Allah yang mereka sembah. Di tengah kondisi yang seperti inikah umat Kristen hidup, dan mereka harus menyaksikan "keotentikan" iman mereka. Apakah Allah yang mereka sembah benar-benar adalah Allah yang hidup? Umat Kristen menghadapi suatu dilemma. Satu pihak mereka menyadari betapa di tengah arus globalisasi, kesatuan dan persatuan harus diperjuangkan, tetapi pihak lain mereka juga terpanggil untuk menyaksikan "keunikan" iman mereka pada Allah yang unik. Ini adalah dilemma yang tidak pernah akan terselesaikan kecuali dalam iman yang sejati kepada Dia yang membebaskan. Untuk itu umat Kristen membutuhkan "keberanian" yaitu keberanian untuk mengutamakan pengenalan akan Allah yang unik tersebut lebih dari segala-galanya. Mereka harus menyadari bahwa pengenalan yang sejatilah yang akan memberikan kekuatan pembebasan dari segala macam dilemma. Pengalaman dengan Allah yang sejati tak dapat dibuat-buat. Kita sendiri tahu apakah kita sebagai umat Kristen benar-benar sudah mengenal Allah yang sejati. Kita tahu apakah kita sudah memiliki "tanda-tanda" pengenalan tersebut.
Sumber: Majalah Momentum No. 18 - Maret 1993



Buku Tamu
Beritahu Teman
PENGAJARAN
ROHANI UMUM

Dua Puluh Lima Desember

The Power Of Pentecost

Penolakan, Penyangkalan Dan Pengkhianatan

Kebangkitan Yesus Kristus

Iman Atau Tingkah Laku Agama?

Mendoakan Kitab Suci

Menyanyikan Kitab Suci

On Solitude

Hidup Sederhana Dan Sedekah

On Fasting

Ringkasan Khotbah Kkr Jakarta 2003

Confession

Church Leader Spiritual Formation

Mengetahui Kehendak Allah Dan Jaminan Bimbingan Tuhan

Akibat Dosa Dalam Berpacaran

Youth Culture Toward The 21st Century

Filsafat Pelayanan

Di Tepi Jurang

Pemuda Dan Krisis Zaman

KESAKSIAN
MUSIK LAGU
SHARING BUKU
PI
SEKOLAH MINGGU
PERSEKUTUAN
NEWSLETTER

Dapatkan berita terbaru dari kami. Masukkan alamat email anda:

SEARCH

Copyright © 2006 pemudakristen.com. All Rights Reserved. Development by ProWeb